Cerpen Pribadi - Hidup




Beberapa minggu yang lalu, karena adanya tuntutan untuk membuat cerpen sebagai perwakilan kelas. Akhirnya Horus mbikin dah cerpen. Tiap kelasnya minimal ngumpulin dua cerpen, satu cerpen karangan Horus yang berjudul Hidup yang akan kalian baca sebentar lagi, dan satu cerpen lagi karangan adiknya Horus. /sebut saja demikian xD/
Sebenernya Horus sendiri sudah beberapa bulan yang lalu ingin nulis cerpen lagi, udah sih bikin drafnya tapi cerpennya masih belum selesai, masih dalam bentuk entri artikel di blog. Jadi kali ini Horus ingin berbagi cerpen di blog personalnya Horus - kalau mau beri 'krisar' sumangga atuh -

Hidup

Karya: Julias Galuhk Immanuel

 

        Pagi benar kujumpai seorang lelaki tua di sebuah gardu. Sambil menyiduk kopi yang masih hangat, dia tampak begitu bahagia. Saat itu aku hendak ke toko swalayan, jadi lewati lelaki tua itu. Kembalinya dari toko swalayan, kulihat kopi itu masih belum habis.
        “Kenapa kopi itu masih belum habis ya?
        Ada apa ya?"
        Karena diriku seorang pecinta kopi, kuhampiri lelaki tua itu. Rupanya, dia baru saja membawa seceret kopi dari rumahnya. Rumah lelaki tua itu berjarak tiga rumah dari gardu itu. Aku pun diajak untuk minum kopi bersamanya.
        “Kopinya enak Pak, saya suka.
        Ini kopi apa ya?”
        “Ini kopi luwak nak
        Kopi luwak rasanya memang seperti ini, enak sekali”
        “Ohh … Kopi luwak toh namanya.”
        Setelah cukup lama menghabiskan dua cangkir kopi dengan lelaki tua itu, aku segera pergi meninggalkan lelaki tua itu karena masih ada proyek-proyek yang harus ku kerjakan. Maklum, diri ini seorang nocturnal yang aktif di malam hari. Rumah ku cukup dekat dari gardu itu, kira-kira hanya berjarak dua puluh sembilan rumah. Saat itu sunyi sekali, namun sudah mulai ada satu atau dua ayam yang berkokok. Setibanya di depan rumah, ku melihat dua bapak-bapak yang juga minum-minum kopi di gardu dekat rumah.
        “Ngopi Pak?!”
        “Ia, ayo sini ikut ngopi juga.”
        “Makasih Pak, barusan juga sudah minum kopi kok.”
        “Ayo dah sini minum kopi.”
        “Io lee, ayo reneo melu ngopi!” sahut bapak yang satunya lagi.
        Aku segera menghampiri bapak-bapak itu. Kita berbincang-bincang tim sepak bola kesayangan kita, kebetulan aku menyukai tim sepak bola dari negara Belanda. Tak disangka-sangka ternyata aku sudah menghabiskan dua cangkir kopi lagi. “Wah, mungkin hari ini hari kopi sedunia ya.” Aku membatin.
        Setelah berbincang-bincang lebih lanjut, ternyata bapak berdua ini tidak tinggal di perumahan yang saya tinggali. Mereka berasal dari daerah sebelah. Cukup lama berbincang-bincang dengan bapak itu, Aku teringat bahwa masih ada yang harus kukerjakan, yaitu proyek-proyek ku. Segera Aku menghabiskan secangkir kopi yang masih ada di tangan ku.
        “Pak, saya pulang dulu ya?”
        “Ada apa nak?”
        “Begini Pak, masih ada proyek yang harus saya kerjakan.”
        “Ya sudah, silahkan nak.”
        Lalu ku segera masuk ke dalam rumah tuk mengerjakan proyek-proyek ku. Kadang ku tertawa sendiri. Ketika yang lainnya tertidur Aku terbangun, ketika ku tertidur yang lainnya terbangun. “Ohh Tuhan, lelah diriku ini Tuhan”. Waktu berlalu begitu cepat, mulanya waktu menunjukkan pukul satu pagi, sekarang sudah menunjukkan pukul lima pagi.
        Keesokan harinya, seperti biasa aku keluar pergi ke toko swalayan untuk beli-beli makanan. Waktu itu masih pukul sepuluh malam. Aku masih menjumpai lelaki tua kemarin, kuhampiri lah lelaki tua itu.
        “Minum kopi lagi, Pak?!” sahut ku dari jauh gardu.
        “Ia nak, ayo sini minum kopi juga!”
        “Ia Pak”
        “Ayo sini cepat-cepat”
        Kali ini, bukan kopi luwak lagi yang lelaki tua itu suguhkan. Tetapi kopi Toraja. Tegukan pertamanya bagaikan ada bidadari yang menghampiriku. Gila benar kopi yang lelaki tua ini suguhkan.
        “Pak, Bapak dapat kopi gila seperti ini dari mana sih?
        Saya juga pengen beli nih”
        “Ini kopi sudah persediaan saya nak, masih ada beberapa lagi di rumah saya”
        “Saya sebenarnya sudah pernah nyicipin kopi Toraja, tapi belum pernah nikmatnya senikmat kopi buatan Bapak.”
        “Wah, kamu bisa aja nak.
        Mungkin masaknya yang berbeda nak”
        “Cara masaknya?
        Cara yang bagaimana Pak?” sahutku penuh tanya.
        Lelaki tua itu menjelaskan padaku bagaimana cara merebus air yang benar, cara menggoreng kopi yang benar, cara menghaluskannya, dan masih banyak hal lagi yang berkaitan dengan kopi itu. Kurang lebih sudah dua jam kuhabiskan waktuku bersama lelaki tua itu. Aku segera pulang ke rumah untuk melanjutkan proyek-proyek yang sudah menantiku.
        Ketika aku mengerjakan proyek, aku terpikir untuk mencoba melakukan cara-cara yang sudah diajarkan lelaki tua itu.
        “Duh, kok aku ingin mencoba cara tadi ya?
        Ke dapur ahh.”
        Setelah pergi ke dapur. Kopi yang kubuat sekarang sudah lebih enak. Tetapi masih tidak bisa senikmat kopi yang dibuat oleh lelaki tua itu. Dengan kopi yang kurang nikmat itu, ditemanilah aku untuk mengerjakan proyek-proyek yang waktu tenggangnya tersisa tiga hari lagi. Ku kerjakan terus dan akhirnya tepat pukul empat lebih tiga puluh tujuh menit proyekku sudah selesai kukerjakan. Tinggal mengirim proyek tersebut ke atasanku dan mendapatkan revisi selanjutnya. “Semoga saja tidak ada revisi.” Ku membatin penuh rintih.
        Paginya kurang lebih pukul Sembilan pagi aku segera berangkat ke kantor. Seperti pekerja kantor lainnya, aku melakukan cek absen di administrasi kantor dan segera ke kantor ku. Di kantor benar-benar membuat ku penat. Ada-ada saja ulah teman ku itu, dia mengerjai atasan ku. Akhirnya kami kena omelan, untungnya aku sudah mengirimkan proyek-proyek itu jadi atasan ku tidak begitu marah kepadaku. Sepulang dari kantor, kulihat banyak orang bergerombolan. Karena ku terburu-buru ku hiraukan saja gerombolan orang itu. Namun bunyi sirine ambulan membuat ku tak bisa untuk menghampirinya. Ku segera turun dari sepeda motor ku dan melihat kesana, ke gerombolan-gerombolan orang itu. Ternyata gardu yang beberapa hari lalu kugunakan untuk minum kopi bersama dengan lelaki tua kini menjadi tempat kejadian perkara. Aku masih bingung, ku lihat ada darah mengalir di jalan. Lelaki yang baru beberapa hari itu kutemani minum kopi ternyata sudah tiada. Dia telah dibunuh. Entah siapa pelakunya polisi masih mencari bukti-buktinya. Masih terlekat dibenakku saat-saat bersama dengan lelaki tua itu. Disepanjang jalan aku masih tidak bisa berpikir bagaimana hal itu terjadi.
        “Bagaimana bisa ya?
        Setahuku bapak itu bapak baik-baik, tapi kok ada-ada saja yang membunuhnya ya?
        Aduh, yang nemenin aku ngopi siapa nanti ya?” gumamku sambil tertawa.
        Hal ini sangat lucu. Hari pertama aku merasa seperti sedang mengalami hari kopi sedunia, hari kedua aku diberitahu oleh seorang lelaki tua tentang bagaimana membuat kopi dan di kantor ada saja ulah teman ku yang mengerjain atasanku. Benar-benar aneh. Sungguh aneh tapi nyata. Tapi semua hal itu dapat kulewati, aku justru tertawa bahagia bahkan terlihat senang-senang saja setelah mengetahui hal seperti itu. Mungkin ini semua hasil dari kesukaanku membaca buku-buku filsafat. Ya. Di buku yang kubaca itu, mengajarkanku bagaimana caranya melepas, salah satunya adalah bagaimana caranya agar kita tidak membiarkan pengetahuan kita membuat kita menjadi tidak bahagia. Hal kematian yang dialami oleh lelaki tua itu, adalah hal yang wajar. Mati itu oke. Orang menganggap bahwa mati adalah hal yang salah. Tidak ada yang salah dengan kematian, karena mati adalah bagian dari kehidupan.
Tidak ada komentar

Tidak ada komentar :

Posting Komentar